Baca Dulu Yang ini
Sekarang kita telah memasuki separo lebih bulan
rojab dimana pada akhir bulan ini kita sebagai seorang muslim telah diingatkan
kembali sebuah peristiwa besar dalam sejarah umat islam. Sebuah peristiwa
penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW yaitu
peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju
Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj)
dari Qubbah As Sakhrah menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian).
Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan
untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga
dengan S. Bani Israil) ayat pertama: سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
Artinya;
Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada
suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat".
Lalu apa pelajaran yang
dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan
berikut dapat memotivasi kita untuk lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap
pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar
setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu).
Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah
tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya,
isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari
penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir
Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan
pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya
"rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala
sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei", demikian Allah
deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan,
mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh
Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa)
menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para
nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di
"Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram
keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi
Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad
menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita adalah "rasul-rasul"
Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah
perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan
mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau
hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak
kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu
Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang
betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala
keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari
penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan
diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting
bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur,
konsistensi memang harus menjadi karakter dasar bagi seorang pejuang di
jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali
berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawa oleh Jibril,
beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan
air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat
dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati,
atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba
yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi
dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi
yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh"
(penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi
"percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana
lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya,
haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan.
Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa
"kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam
perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat
menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan
hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang
ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa
alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna
yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan
kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh
kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam
menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian
"penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih
bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena
manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam
pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia
yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan
noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik
inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu
'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, Allah berfirman" قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
(9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya: Sungguh beruntung
siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya".
Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan
senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap
Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat
bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang.
Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan
tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang
tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi,
Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang
ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan
selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan
kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda
kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak
yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak
senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan
memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan
kepada pilihan-pilihan yang samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam
mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh
karenanya, jika kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata
kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi
merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita.
Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali
fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang
Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta.
Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol
ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi
tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah,
dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka
sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada.
Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada
masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi
Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa
Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau
secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya
juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah
menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan
secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan
sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan
itu, kamu akan meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah,
seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh
pemimpin umat lainnya.
Baghaimana dengan kita sebagai pengikut nabi
muhammad dalam masalah ini? Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki
kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang
disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada
kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin
yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan
adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami".
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin
umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan
dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam
kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Namun lebih banyak yang bersifat
negatif.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut
segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya.
Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan
Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan
dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab
duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu,
harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan
yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk
turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan
"dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan
ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya.
"Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak),
pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya"
dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5
waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan
suci ke atas (Mi'raj).
Silahkan Berkomentar dengan Bijak dan sopan, Boleh berkomentar sesuai dengan Bahasan namun di larang keras melakukan SPAM
Emoticon