Baca Dulu Yang ini
Sebagian orang kadang bertanya-tanya mengapa kita harus berdzikir dan kapan kita baiknya berdzikir, sebelumnya mari kita ulas bersama tentang dzikir yang kita ucapkan menggunakan Lisan tersebut terbagi menjadi 2 macam, antara lain :
1. Dzikir mutlak, adalah dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka bisa dikatakan dzikir semacam ini tidak boleh dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seratus kali dan semisalnya. [baca Ilmu Ushul Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.]
Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا الَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”. (QS. al-Ahzab [33]: 41)
jadi ketika kita Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Allah berarti kita menambah syari’at Allah. Allah tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam melakukan dzikir jenis ini karena itu semua merupakan kemurahan dan kemudahan dari Allah. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu [bisa baca : as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 102-103.].
2. Dzikir muqoyyad, adalah dzikir yang dianjurkan supaya dapatnya dilakukan dengan hitungan / dalam bilangan tertentu seperti halnya ucapan Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali,
dan sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barang siapa mengucapkan Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042 dan Muslim: 2691)
Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana yang di peerintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.
“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)
Adapun makna dari الأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedang tidak jauh beda pula yang di ungkapkan oleh Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108). ada pula bahwa Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwa الأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya. Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwa الأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.
dalam penjelasan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan itulah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya. sesuai dari penegasan Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320) bahwa beliau berkata :
“Sungguh telah sah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
jadi dalam penekannya kita di anjurkan Berdzikir hanya dengan tangan kanan saja dan tidak selayaknya dengan tangan kiri, Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)
Silahkan Berkomentar dengan Bijak dan sopan, Boleh berkomentar sesuai dengan Bahasan namun di larang keras melakukan SPAM
Emoticon